Tuhan, Jadikan
Dia Jodohku!
Ia berbaring dan terpaku menatap langit-langit
kamarnya sambil sesekali melirik layar handphonenya. Ia masih tak percaya ia
telah diputuskan oleh pacar yang dicintainya selama satu tahun ini. Alunan
musik beraroma galau mengalun lembut, tapi tak setitik air mata menetes. Ia
bertanya-tanya dalam hatinya, mana mungkin Brian lebih memperjuangkan cewek
yang baru seminggu ia kenal sampai Brian melepasnya yang sudah satu tahun
menjalin hubungan.
“Ka Ika.. coba liat deh pacar barunya
Brian anak kelas X itu liatin kamunya gak enak banget! Minta gak akur ya itu
anak” cetus okta sambil menepuk bahu Ika dengan keras.
“Udahlah ta, biarin aja Brian putusin aku demi Venti anak baru itu. Toh aku juga gak sedih kan, gak galau kan? Gak sampek bunuh diri kan?” jawab Ika asal asalan.
“Udahlah ta, biarin aja Brian putusin aku demi Venti anak baru itu. Toh aku juga gak sedih kan, gak galau kan? Gak sampek bunuh diri kan?” jawab Ika asal asalan.
“Yah lebay banget sih sampai bunuh
diri gitu? Gak segitunya lah” sekali lagi Okta menepuk pundak Ika.
“Tapi jujur ya, kamu masih sayang
dia? Masih berharap sama Brian?” tambah Okta dengan wajah serius.
“Nggak lah ta, buat apa seriusin
orang yang gak pernah serius sama kita? Buat apa berharap sama cowok gak punya
hati kayak dia. Udahlah lupain aja ya ta”
“Salut deh sama kamu, bisa setegar
itu” Okta mengacungkan dua jempolnya.
Ika menggandeng Okta menuju kelas. Di
tengah kerumunan Ika melihat sosok mantan yang saat ini dibencinya. Jarak Brian
dan Ika semakin dekat raut wajah penuh emosi memuncak pada benak Ika, ia hanya
menjulingkan mata begitu saja saat Brian melewatinya.
**
Dua
bulan belalu hubungan Brian dan Venti tetap bertahan, sekalipun itu Ika tak
akan perduli tentang itu karena Ika punya gebetan yang bisa dibilang lebih dari
cukup alias banyak. Semenjak putus dengan Brian, Ika tak pernah menjalani
hubungan serius hanya sekedar kenal dekat, tapi untuk jadian Ika tak pernah
menerima satu pun dari sekian banyak gebetannya.
“Ciee yang sekarang gebetannya
delapan bisa dibagi bagi tuh”
Pesan singkat tertera di layar
handphoneku membuat Ika tertawa girang melihat sms Okta. Ketika jari-jari Ika
dengan cepat membalas pesan singkat Okta, tiba-tiba satu pesan singkat yang
sempat membuat Ika tersentak. Jari Ika dengan tangkas membatalkan pesan yang
sedang diketik dan langsung membuka pesan singkat yang baru masuk.
“Kamu sekarang berubah, kamu bukan
Ika yang dulu ku kenal”
Mata Ika membelalak lebar membaca
pesan Brian dengan teliti. Ia semakin tak mengerti apa yang dimaksud Brian
“Maksudnya apa?” Balas Ika dengan
cepat.
“Kamu berubah, Ika yang dulu ku kenal
setia dan tak suka mempermainkan perasaan orang lain. Ika yang kukenal dulu
bukan orang pedendam seperti sekarang. Ika yang kukenal dulu suka memberikan
senyum manisnya kepadaku, bukan menampakkan wajah yang muram dan penuh dendam,
aku kecewa”
“Itu bukan urusanmu, kamu hanya
MANTANKU.”
Ika membalas pesan Brian dengan
singkat dan dingin bahkan tak memberi alasan apapun.
“Aku kecewa, jangan pernah anggap aku
mantanmu dan aku gak akan anggap kamu sebagai mantanku”
“Oke!”
Ika mengakhiri percakapannya dengan jawaban yang singkat dan pedas. Sepanjang dan seruntut apapun penjelasan Brian mengenai Ika akan dibalas dingin oleh Ika. Sekelibat bayangan memori tentang Brian memenuhi otaknya, tetapi Ika membiarkan otaknya mengingat memori indah tentang Brian. Ika meraih album foto yang ia letakkan di bawah tempat tidurnya, dilihatnya foto dimana saat mereka masih bersama, sebelum ada Venti hadir dalam kehidupan Brian. Ika hanya tersenyum dan mengambil foto-foto itu dari tempatnya, ditempelnya foto-foto itu pada lembaran diarynya.
Ika mengakhiri percakapannya dengan jawaban yang singkat dan pedas. Sepanjang dan seruntut apapun penjelasan Brian mengenai Ika akan dibalas dingin oleh Ika. Sekelibat bayangan memori tentang Brian memenuhi otaknya, tetapi Ika membiarkan otaknya mengingat memori indah tentang Brian. Ika meraih album foto yang ia letakkan di bawah tempat tidurnya, dilihatnya foto dimana saat mereka masih bersama, sebelum ada Venti hadir dalam kehidupan Brian. Ika hanya tersenyum dan mengambil foto-foto itu dari tempatnya, ditempelnya foto-foto itu pada lembaran diarynya.
**
“Ta, gimana nih? Nanti malem minggu
diajak Patran makan malam. Ah males banget”
“loh gak papa dong ka, kalau boleh
aku tebak nih nanti bakalan ditembak Patran deh” ucap Okta sambil menelan
burger yang ia genggam.
“Aku masih gak mau pacaran Okta,
males males!” balas Ika sambil mengerucutkan bibirnya.
“Udah deh Ka, dia itu kayaknya serius
banget sama kamu, masak masih gak percaya aja ada cinta yang tulus, kasihan
Patran lho”
“Ah iya bener juga, apa salahnya
nyoba sama Patran” ucapku sembari menggaruk garuk kepalaku.
Berkali
kali Ika berkaca di cerminnya yang super besar, merapikan baju yang ia kenakan,
menata rambut yang sesuai dengan dirinya, dan memakai perhiasan yang pas untuk
malam ini. Suara deru motor Patran terdengar, Ika segera meraih tas mungilnya
dan menghampiri Patran yang telah siap berangkat.
“Ika..” bisik Patran dengan lembut
“Iya Patran, ada apa?” jawab Ika
dengan polosnya.
“Akuu....” belum sempat Patran
melanjutkan kalimatnya, Ika melihat orang yang tak asing baginya, mereka adalah
Brian dan Venti yang tengah asik makan malam di meja cafe bagian depan,
seketika emosinya memuncak dan membuyarkan suasana romantis yang Patran buat.
Dendam Ika akan masalalu kembali meluap, dengan sikap yang diluar kendali Ika
meninggalkan Patran dan menghampiri meja mereka dengan emosi yang meluap luap.
“Ada apa Ika?” tanya Brian dengan
wajah penuh tanda tanya.
Tanpa banyak bicara Ika menarik
taplak meja mereka dengan kasar, makanan dan minuman jatuh berserakan, piring
dan gelas telah menjadi pecahan kaca yang tergeletak di lantai cafe.
“IKA ! Apa apaan kau ini!!” Brian
berdiri dan membentak Ika dengan suara lantang, semua mata tertuju pada mereka.
Tanpa merasa bersalah Ika segera meninggalkan mereka.
**
Satu
tahun sendiri tanpa seorang kekasih tak mudah dijalani, ia selalu berkeinginan
untuk memiliki seseorang yang mendampinginya tapi Ika takut akan luka lama akan
terulang kembali. Masa SMA kini telah
berakhir akan tetapi perselisihan di antara mereka tetap berlanjut, entah
sampai kapan.
“Hey ka! Ngelamun aja, mikirin apa’an
ka?” teriak Okta dari kejauhan.
“Ta, besok aku udah harus pindah ke
Bali, keputusanku udah pasti buat kuliah di luar kota bahkan luar propinsi”
jawabku sambil terisak di bahu Okta.
“Iya Ka, aku ngerti kok, aku selalu
dukung apa yang kamu anggap baik untuk masa depanmu” ucap Okta dengan lirih
sambil memeluk Ika.
“Iya makasih Ta, teman-teman gak ada
yang tau soal ini kan?”
“Nggak ada Ka, cuma aku yang tau”
Okta melontarkan senyuman manisnya untuk menenangkan Ika sekaligus menjadi senyum
terakhir yang Ika lihat.
“Selamat tinggal teman temanku,
selamat tinggal sahabatku, selamat tinggal masalaluku. Akan selalu ku kenang
kalian sebagai pelajaran hidup yang sangat berarti bagiku.”
Kalimat terakhir yang Ika tulis dalam
lembaran terakhir diarynya. Dibukanya lagi halaman awal disaat awal SMA, Ika
hanya tersenyum melihat betapa susah, sedih, dan bahagia yang dirasakannya dulu
saat pertama kali SMA serta seseorang yang amat berarti bagi Ika dulu. Ika
kembali menutup lembaran diarynya. Sengaja Ika tidak membawa diary yang telah
habis itu, ia tinggalkan di kamar sebagai tanda masa lalu yang ia tulis di
setiap lembarannya akan menjadi masalalu dan tak perlu untuk dikenang ataupun
diungkit kembali.
**
“Ika,
aku merindukanmu” gerutu Brian dalam hati. Betapa lamanya Brian tak
berkomunikasi sedikitpun dengan Ika dan saat ini Brian benar-benar merindukan
Ika. Brian tak sanggup lagi menahan rindu yang dirasakannya sejak dulu, bahkan
sejak Brian mengatakan Ika telah berubah rindu itu semakin menjadi jadi. Brian
hanya memandangi foto Ika yang masih tersisa, hanya memandangi tanpa berkata
apapun.
Brian
berdiri dengan sigap lalu meraih jaket dan memakainya, dengan langkah yang
cepat Brian mengeluarkan motor dari garasinya dan pergi untuk menemui Ika. Brian
hanya ingin meminta maaf atas segala sesuatu yang telah ia lakukan kepada Ika
dan mengatakan perasaan Brian yang sesungguhnya. Pikiran Brian tercampur aduk
antara rindu dan takut, tak ada sedikitpun rasa benci seperti yang ditunjukan
dulu.
“Tok tok tok” Brian mengetuk pintu
rumah Ika yang terlihat sunyi.
Tanpa ada jawaban, Brian menerobos
masuk rumah Ika. Yang ia lihat hanya rumah kosong dengan sedikit barang yang
tertinggal disana. Brian semakin bingung, kemana perginya Ika. Brian mengambil
handphone dari saku celananya dan menghubungi Okta, satu satunya sahabat Ika
yang paling dekat.
“Halo, Okta?”
“Iya Brian, ada apa?”
“Ika dimana? Kenapa di rumahnya
sepi?”
“Oh maaf Brian, Ika dan keluarganya
udah pindah ke Bali. Ika juga melanjutkan kuliah disana” jawab Okta dengan
terbata bata.
“Kenapa gak ada kabar sama sekali
kalau Ika pindah?” nada Brian meninggi.
“Maaf Brian, memang kabar ini hanya
aku yang tau, Ika ingin merahasiakannya” nafas Okta mulai tersengal-sengal
“Tapi kenapa ta, kenapa?”
“Mungkin sebaiknya kamu cari diary
milik Ika yang ia tinggalkan di rumah”
“Diary? Diary?”
Telepon terputus begitu saja. Berkali
kali Brian mencoba menghubungi Okta tetapi tak ada jawaban satu pun dari Okta.
Brian perlahan-lahan mulai mencerna apa yang dikatakan Okta tentang diary Ika.
Ia teringat dulu Ika pernah memperlihatkan diarynya kepada Brian tapi ingatan
itu samar-samar. Brian mencari diary seisi rumah Ika, di setiap sudut dan cela
rumah ia perhatikan baik-baik. Diary itu telah ditemukan Brian dibawah tempat
tidur Ika. Ia membuka pelan-pelan isi diary itu dari awal.
Tak
satupun kenangan manis mereka terlewat di diary itu. Kisah indah bahkan
foto-foto masih tertata rapi. Brian tersenyum melihat foto mereka dengan
penampilan yang seadanya, wajah yang polos tapi tetap serasi. Dibukanya halaman
terakhir saat-saat cinta mereka berdua telah usai
“Semenjak kau pergi aku selalu berpura-pura tegar, tapi tak bisa ku
pungkiri batinku menangis tapi mata ini tak pernah meneteskan air mata. Disaat
kejauhan ku selalu memperhatikanmu, memastikan kau baik-baik saja dan tetap
tersenyum tanpa kau tau aku mengawasimu. Disaat ku berpura-pura membencimu,
disitulah letak rasa rinduku yang sedalam dalamnya, aku tak bisa mencurahkan
kerinduanku. Kasih, aku selalu berharap engkau kembali kepadaku, tapi kenyataan
berbeda.. jangankan kembali kepadaku, kau pandang aku layaknya aku orang yang
paling kau benci di dunia. Kau membenciku karena sikapku berubah, sedangkan aku
terlalu mencintaimu sehingga aku berusaha untuk membencimu dengan merubah semua
sikapku, aku berhasil membuatmu membenciku, tapi aku tak berhasil merubah
cintaku menjadi benci. Mungkin banyak cowok yang datang mendekatiku, aku
membuka hatiku untuk mereka yang mencintaiku tapi itu semua percuma, aku tak
bisa memaksakan hati ini, jauh di dalam hati ini masih tersimpan namamu dan
berjuta memori indah tentangmu dan aku tak bisa menggantikanmu dengan orang
lain. Mungkin aku sudah gila atau cinta mati aku tak perduli, yang ku tau aku
mencintaimu walau kau membenciku. Setiap doa yang kupanjatkan kusertakan
namamu, aku memelukmu, mendekapmu meski dari kejauhan ku tetap merasakan
kehadiranmu. Aku mengerti, cinta tak harus memiliki. Mencintai seseorang tak
harus diwujudkan untuk bersama orang itu, cinta yang tulus itu setia menunggu
walaupun orang yang kau cinta tidak menginginkanmu. Aku selalu ingat kata kata
itu. Bahkan perasaanku ini tak ada yang tau selain diriku, sahabat dekat dan
orang tua pun tak tau tentang ini. Itulah sebabnya aku bertahan dalam
kesendirian satu tahun ini, itu semua karenamu Brian, karenamu. Hari ini adalah hari terakhir aku disini
karena besok aku sekeluarga akan pindah ke Bali, tetapi hanya aku dan Okta yang
tau. Aku ingin semua orang yang mengenalku menghargai arti kehadiranku setelah
aku pergi. Aku akan selalu merindukanmu Brian. Aku selalu berdoa kepada tuhan
agar kelak kau menjadi jodohku”
Tanpa terasa air mata Brian menetes
membasahi lembaran buku yang ia genggam erat. Brian tak percaya mantan kekasih
yang ia anggap benci menyimpan rasa cinta yang mendalam pada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar