Jumat, 18 Oktober 2013

Cerpen: Tuhan, jadikan dia jodohku

Tuhan, Jadikan Dia Jodohku!

             Ia berbaring dan terpaku menatap langit-langit kamarnya sambil sesekali melirik layar handphonenya. Ia masih tak percaya ia telah diputuskan oleh pacar yang dicintainya selama satu tahun ini. Alunan musik beraroma galau mengalun lembut, tapi tak setitik air mata menetes. Ia bertanya-tanya dalam hatinya, mana mungkin Brian lebih memperjuangkan cewek yang baru seminggu ia kenal sampai Brian melepasnya yang sudah satu tahun menjalin hubungan.

“Ka Ika.. coba liat deh pacar barunya Brian anak kelas X itu liatin kamunya gak enak banget! Minta gak akur ya itu anak” cetus okta sambil menepuk bahu Ika dengan keras.
“Udahlah ta, biarin aja Brian putusin aku demi Venti anak baru itu. Toh aku juga gak sedih kan, gak galau kan? Gak sampek bunuh diri kan?” jawab Ika asal asalan.
“Yah lebay banget sih sampai bunuh diri gitu? Gak segitunya lah” sekali lagi Okta menepuk pundak Ika.
“Tapi jujur ya, kamu masih sayang dia? Masih berharap sama Brian?” tambah Okta dengan wajah serius.
“Nggak lah ta, buat apa seriusin orang yang gak pernah serius sama kita? Buat apa berharap sama cowok gak punya hati kayak dia. Udahlah lupain aja ya ta”
“Salut deh sama kamu, bisa setegar itu” Okta mengacungkan dua jempolnya.
Ika menggandeng Okta menuju kelas. Di tengah kerumunan Ika melihat sosok mantan yang saat ini dibencinya. Jarak Brian dan Ika semakin dekat raut wajah penuh emosi memuncak pada benak Ika, ia hanya menjulingkan mata begitu saja saat Brian melewatinya.

**
            Dua bulan belalu hubungan Brian dan Venti tetap bertahan, sekalipun itu Ika tak akan perduli tentang itu karena Ika punya gebetan yang bisa dibilang lebih dari cukup alias banyak. Semenjak putus dengan Brian, Ika tak pernah menjalani hubungan serius hanya sekedar kenal dekat, tapi untuk jadian Ika tak pernah menerima satu pun dari sekian banyak gebetannya.
“Ciee yang sekarang gebetannya delapan bisa dibagi bagi tuh”
Pesan singkat tertera di layar handphoneku membuat Ika tertawa girang melihat sms Okta. Ketika jari-jari Ika dengan cepat membalas pesan singkat Okta, tiba-tiba satu pesan singkat yang sempat membuat Ika tersentak. Jari Ika dengan tangkas membatalkan pesan yang sedang diketik dan langsung membuka pesan singkat yang baru masuk.

“Kamu sekarang berubah, kamu bukan Ika yang dulu ku kenal”
Mata Ika membelalak lebar membaca pesan Brian dengan teliti. Ia semakin tak mengerti apa yang dimaksud Brian
“Maksudnya apa?” Balas Ika dengan cepat.
“Kamu berubah, Ika yang dulu ku kenal setia dan tak suka mempermainkan perasaan orang lain. Ika yang kukenal dulu bukan orang pedendam seperti sekarang. Ika yang kukenal dulu suka memberikan senyum manisnya kepadaku, bukan menampakkan wajah yang muram dan penuh dendam, aku kecewa”
“Itu bukan urusanmu, kamu hanya MANTANKU.”
Ika membalas pesan Brian dengan singkat dan dingin bahkan tak memberi alasan apapun.
“Aku kecewa, jangan pernah anggap aku mantanmu dan aku gak akan anggap kamu sebagai mantanku”
“Oke!”
Ika mengakhiri percakapannya dengan jawaban yang singkat dan pedas. Sepanjang dan seruntut apapun penjelasan Brian mengenai Ika akan dibalas dingin oleh Ika. Sekelibat bayangan memori tentang Brian memenuhi otaknya, tetapi Ika membiarkan otaknya mengingat memori indah tentang Brian. Ika meraih album foto yang ia letakkan di bawah tempat tidurnya, dilihatnya foto dimana saat mereka masih bersama, sebelum ada Venti hadir dalam kehidupan Brian. Ika hanya tersenyum dan mengambil foto-foto itu dari tempatnya, ditempelnya foto-foto itu pada lembaran diarynya.

**
“Ta, gimana nih? Nanti malem minggu diajak Patran makan malam. Ah males banget”
“loh gak papa dong ka, kalau boleh aku tebak nih nanti bakalan ditembak Patran deh” ucap Okta sambil menelan burger yang ia genggam.
“Aku masih gak mau pacaran Okta, males males!” balas Ika sambil mengerucutkan bibirnya.
“Udah deh Ka, dia itu kayaknya serius banget sama kamu, masak masih gak percaya aja ada cinta yang tulus, kasihan Patran lho”
“Ah iya bener juga, apa salahnya nyoba sama Patran” ucapku sembari menggaruk garuk kepalaku.

            Berkali kali Ika berkaca di cerminnya yang super besar, merapikan baju yang ia kenakan, menata rambut yang sesuai dengan dirinya, dan memakai perhiasan yang pas untuk malam ini. Suara deru motor Patran terdengar, Ika segera meraih tas mungilnya dan menghampiri Patran yang telah siap berangkat.

“Ika..” bisik Patran dengan lembut
“Iya Patran, ada apa?” jawab Ika dengan polosnya.
“Akuu....” belum sempat Patran melanjutkan kalimatnya, Ika melihat orang yang tak asing baginya, mereka adalah Brian dan Venti yang tengah asik makan malam di meja cafe bagian depan, seketika emosinya memuncak dan membuyarkan suasana romantis yang Patran buat. Dendam Ika akan masalalu kembali meluap, dengan sikap yang diluar kendali Ika meninggalkan Patran dan menghampiri meja mereka dengan emosi yang meluap luap.
“Ada apa Ika?” tanya Brian dengan wajah penuh tanda tanya.
Tanpa banyak bicara Ika menarik taplak meja mereka dengan kasar, makanan dan minuman jatuh berserakan, piring dan gelas telah menjadi pecahan kaca yang tergeletak di lantai cafe.
“IKA ! Apa apaan kau ini!!” Brian berdiri dan membentak Ika dengan suara lantang, semua mata tertuju pada mereka. Tanpa merasa bersalah Ika segera meninggalkan mereka.

**

            Satu tahun sendiri tanpa seorang kekasih tak mudah dijalani, ia selalu berkeinginan untuk memiliki seseorang yang mendampinginya tapi Ika takut akan luka lama akan terulang kembali. Masa SMA  kini telah berakhir akan tetapi perselisihan di antara mereka tetap berlanjut, entah sampai kapan.
“Hey ka! Ngelamun aja, mikirin apa’an ka?” teriak Okta dari kejauhan.
“Ta, besok aku udah harus pindah ke Bali, keputusanku udah pasti buat kuliah di luar kota bahkan luar propinsi” jawabku sambil terisak di bahu Okta.
“Iya Ka, aku ngerti kok, aku selalu dukung apa yang kamu anggap baik untuk masa depanmu” ucap Okta dengan lirih sambil memeluk Ika.
“Iya makasih Ta, teman-teman gak ada yang tau soal ini kan?”
“Nggak ada Ka, cuma aku yang tau” Okta melontarkan senyuman manisnya untuk menenangkan Ika sekaligus menjadi senyum terakhir yang Ika lihat.

“Selamat tinggal teman temanku, selamat tinggal sahabatku, selamat tinggal masalaluku. Akan selalu ku kenang kalian sebagai pelajaran hidup yang sangat berarti bagiku.”
Kalimat terakhir yang Ika tulis dalam lembaran terakhir diarynya. Dibukanya lagi halaman awal disaat awal SMA, Ika hanya tersenyum melihat betapa susah, sedih, dan bahagia yang dirasakannya dulu saat pertama kali SMA serta seseorang yang amat berarti bagi Ika dulu. Ika kembali menutup lembaran diarynya. Sengaja Ika tidak membawa diary yang telah habis itu, ia tinggalkan di kamar sebagai tanda masa lalu yang ia tulis di setiap lembarannya akan menjadi masalalu dan tak perlu untuk dikenang ataupun diungkit kembali.

**
            “Ika, aku merindukanmu” gerutu Brian dalam hati. Betapa lamanya Brian tak berkomunikasi sedikitpun dengan Ika dan saat ini Brian benar-benar merindukan Ika. Brian tak sanggup lagi menahan rindu yang dirasakannya sejak dulu, bahkan sejak Brian mengatakan Ika telah berubah rindu itu semakin menjadi jadi. Brian hanya memandangi foto Ika yang masih tersisa, hanya memandangi tanpa berkata apapun.
            Brian berdiri dengan sigap lalu meraih jaket dan memakainya, dengan langkah yang cepat Brian mengeluarkan motor dari garasinya dan pergi untuk menemui Ika. Brian hanya ingin meminta maaf atas segala sesuatu yang telah ia lakukan kepada Ika dan mengatakan perasaan Brian yang sesungguhnya. Pikiran Brian tercampur aduk antara rindu dan takut, tak ada sedikitpun rasa benci seperti yang ditunjukan dulu.
“Tok tok tok” Brian mengetuk pintu rumah Ika yang terlihat sunyi.
Tanpa ada jawaban, Brian menerobos masuk rumah Ika. Yang ia lihat hanya rumah kosong dengan sedikit barang yang tertinggal disana. Brian semakin bingung, kemana perginya Ika. Brian mengambil handphone dari saku celananya dan menghubungi Okta, satu satunya sahabat Ika yang paling dekat.
“Halo, Okta?”
“Iya Brian, ada apa?”
“Ika dimana? Kenapa di rumahnya sepi?”
“Oh maaf Brian, Ika dan keluarganya udah pindah ke Bali. Ika juga melanjutkan kuliah disana” jawab Okta dengan terbata bata.
“Kenapa gak ada kabar sama sekali kalau Ika pindah?” nada Brian meninggi.
“Maaf Brian, memang kabar ini hanya aku yang tau, Ika ingin merahasiakannya” nafas Okta mulai tersengal-sengal
“Tapi kenapa ta, kenapa?”
“Mungkin sebaiknya kamu cari diary milik Ika yang ia tinggalkan di rumah”
“Diary? Diary?”
Telepon terputus begitu saja. Berkali kali Brian mencoba menghubungi Okta tetapi tak ada jawaban satu pun dari Okta. Brian perlahan-lahan mulai mencerna apa yang dikatakan Okta tentang diary Ika. Ia teringat dulu Ika pernah memperlihatkan diarynya kepada Brian tapi ingatan itu samar-samar. Brian mencari diary seisi rumah Ika, di setiap sudut dan cela rumah ia perhatikan baik-baik. Diary itu telah ditemukan Brian dibawah tempat tidur Ika. Ia membuka pelan-pelan isi diary itu dari awal.
            Tak satupun kenangan manis mereka terlewat di diary itu. Kisah indah bahkan foto-foto masih tertata rapi. Brian tersenyum melihat foto mereka dengan penampilan yang seadanya, wajah yang polos tapi tetap serasi. Dibukanya halaman terakhir saat-saat cinta mereka berdua telah usai

“Semenjak kau pergi aku selalu berpura-pura tegar, tapi tak bisa ku pungkiri batinku menangis tapi mata ini tak pernah meneteskan air mata. Disaat kejauhan ku selalu memperhatikanmu, memastikan kau baik-baik saja dan tetap tersenyum tanpa kau tau aku mengawasimu. Disaat ku berpura-pura membencimu, disitulah letak rasa rinduku yang sedalam dalamnya, aku tak bisa mencurahkan kerinduanku. Kasih, aku selalu berharap engkau kembali kepadaku, tapi kenyataan berbeda.. jangankan kembali kepadaku, kau pandang aku layaknya aku orang yang paling kau benci di dunia. Kau membenciku karena sikapku berubah, sedangkan aku terlalu mencintaimu sehingga aku berusaha untuk membencimu dengan merubah semua sikapku, aku berhasil membuatmu membenciku, tapi aku tak berhasil merubah cintaku menjadi benci. Mungkin banyak cowok yang datang mendekatiku, aku membuka hatiku untuk mereka yang mencintaiku tapi itu semua percuma, aku tak bisa memaksakan hati ini, jauh di dalam hati ini masih tersimpan namamu dan berjuta memori indah tentangmu dan aku tak bisa menggantikanmu dengan orang lain. Mungkin aku sudah gila atau cinta mati aku tak perduli, yang ku tau aku mencintaimu walau kau membenciku. Setiap doa yang kupanjatkan kusertakan namamu, aku memelukmu, mendekapmu meski dari kejauhan ku tetap merasakan kehadiranmu. Aku mengerti, cinta tak harus memiliki. Mencintai seseorang tak harus diwujudkan untuk bersama orang itu, cinta yang tulus itu setia menunggu walaupun orang yang kau cinta tidak menginginkanmu. Aku selalu ingat kata kata itu. Bahkan perasaanku ini tak ada yang tau selain diriku, sahabat dekat dan orang tua pun tak tau tentang ini. Itulah sebabnya aku bertahan dalam kesendirian satu tahun ini, itu semua karenamu Brian, karenamu.  Hari ini adalah hari terakhir aku disini karena besok aku sekeluarga akan pindah ke Bali, tetapi hanya aku dan Okta yang tau. Aku ingin semua orang yang mengenalku menghargai arti kehadiranku setelah aku pergi. Aku akan selalu merindukanmu Brian. Aku selalu berdoa kepada tuhan agar kelak kau menjadi jodohku”

Tanpa terasa air mata Brian menetes membasahi lembaran buku yang ia genggam erat. Brian tak percaya mantan kekasih yang ia anggap benci menyimpan rasa cinta yang mendalam pada dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar