Ia
membalas pelukanku dengan diselubungi rasa rindu yang amat mendalam, rasa yang
tertahan hampir lima tahun lamanya. Mulutku menggumamkan namanya dengan lirih.
Ia menyisipkan jari-jari lembutnya di sela-sela rambutku yang tergerai. Kelopak
mataku menutup dengan perlahan, mencoba meresapi dan mengulas balik kenangan yang pernah ku lewati
bersamanya.
***
Aku membolak-balik halaman buku
kusam tak beraturan. Otakku mencoba memfokuskan pada halaman buku yang kubaca
tapi tak berhasil. Kelopak mataku terasa berat untuk membuka hingga pada
akhirnya bunyi singkat tapi jelas menembus telingaku. Seketika kepalaku
mendongak dan mataku membelalak lebar.
“Zuhrisa
Navia, kerjakan soal nomor 5 di papan tulis sekarang!”
Ternyata
suara yang nyaris memecahkan gendang telingaku itu bersumber dari Pak Endro
yang tiba-tiba memanggil namaku sambil berkacak pinggang dan sepasang matanya
menatapku tajam.
“Aduh
soalnya susah pak!” celotehku sambil memandangi soal yang sama sekali tak
kupahami.
“Sudahlah
kerjakan dulu di depan! Makanya kalau saya menerangkan itu didengarkan
baik-baik bukannya tidur! Kamu di sekolah bukan untuk tidur!” Nada Pak. Endro
meninggi.
“Iya
pak” aku berdiri dan melangkah dengan malas menuju papan tulis.
Ku
lihat sekelebat lelaki jangkung, berkulit putih, dan rambut perpaduan antara
lurus dan ikal yang berasal dari kelas sebelah. Ekor mataku membuntuti langkah cepat
lelaki itu, ia menuju perpustakaan. Aku terhanyut memandanginya hingga suara
bel panjang membuyarkan pandanganku namun melegakan hatiku. Kakiku beranjak
keluar dari kelas dan menyusuri koridor sekolah. Sesekali kepalaku mendongak
untuk memastikan lelaki itu tak lepas dari pandanganku, dan sampailah aku di
perpustakaan. Sepasang mataku tak henti memandangi lelaki itu, ia adalah Danar,
ia siswa kelas 12 IPS 4 yang bersebelahan kelas denganku. Danar sosok yang
rajin bijaksana, dan baik tentunya seperti yang selalu ku amati sejak pertama
kali aku memijakkan kaki di SMA ini. Aku selalu ingin mengenalnya, tapi otak
dan hatiku selalu berlawanan arah, hatiku ingin mengenalnya tapi otakku selalu
menolaknya karena ku pikir aku takkan pernah pantas mengenalnya. Tiba-tiba
Danar membalas pandanganku, sepertinya ia tau bahwa aku memperhatikannya. Ku
raih buku yang terjajar rapi di rak lalu melangkah menjauh mencari tempat
duduk. Seketika rasa malu menjuluriku, aku menutup wajahku yang memerah.
Kudengar dentum langkah menghampiriku.
“Risa.. Zuhrisa” panggil seseorang
dibelakangku dengan lirih. Aku menolehkan kepalaku dengan perlahan. Kulihat
sosok yang ku puja-puja sedari dulu.
“Danar? A..ada apa Nar?” jawabku
tersengal-sengal sembari memperbaiki tatanan ramburku yang kurang teratur.
“Lagi belajar matematika ya?”
ucapnya sambil tersenyum manis kepadaku.
“Ehm..Iya Nar, tapi kurang paham”
balasku sambil memasang wajah memelas.
“Sini aku bantuin Sa”
Seketika
gugup menggerayangiku, aku menyeka air mukaku yang mengucur deras.
“Bagaimana kau tau namaku?” tanyaku
ragu-ragu.
“Bagaimana aku tak tau namamu, kau
kan anak kelas sebelah yang sering dihukum diluar kelas” Jawabnya sambil
terkekeh.
Aku
menundukkan kepalaku menyembunyikan rasa malu yang tak tertahankan.
“Kok diem sih? Jadi aku ajarin gak
matematikanya” tawarnya sekali lagi.
“Iya!” jawabku dengan penuh
antusias.
Dua
jam berlalu, aku menikmati setiap detik yang terlewati dengannya. Meskipun secara
profesi dia bukan seorang guru, bagiku ia sosok guru yang mengajariku untuk
tetap berjuang, memotivasiku. Timbul secuil harapan untuk masa depan yang
kuidam-idamkan.
“Apa rencanamu untuk masa depan Sa?”
ucap Danar sambil menatapku serius.
“Entahlah Nar, aku bingung. Untuk
bidang eksak bodoh banget aku. Satu satunya pelajaran yang nilainya lebih dari
cukup cuma pelajaran bahasa. Aku gak tau harus masuk jurusan apa saat ke
perguruan tinggi kelak” ocehku sambil mengerucutkan bibir.
“Jangan patah semangat gitu dong!
Diantara pelajaran bahasa nilaimu yang paling baik apa coba”
“Hmm.. Bahasa Inggris, nilainya 90”
jawabku dengan bangga.
“Wah hebat! Kalau saranku sebaiknya
kamu ambil jurusan yang berbau bahasa inggris. Seperti hubungan internasional
dan sastra inggris contohnya” Danar mengacungkan jempolnya.
Otakku
mulai menjelajah ke arah masa depan. Sekelibat bayangan keinginan mulai muncul
dengan sendirinya. Reflek aku tersenyum sembari memejamkan mata beberapa detik.
“Hei.. Hei.. Risa!” ucap Danar
berulang kali sambil megoyak badanku dan membuyarkan hayalanku.
“Ngapain kamu merem sambil senyum
senyum? Bayangin apa?” Tanya Danar sambil mengerutkan dahinya.
“Oh nggak papa kok Nar, yuk
lanjutin belajarnya” ucapku.
Pertama
kali aku memulai percakapan dengan Danar, namun percakapan itu berlangsung
hangat dan menyenangkan layaknya aku berbicara dengan orang yang telah
mengenalku sepuluh tahun lamanya.
***
“Yess aku bisa pak aku bisa”
teriakku sambil menggoyangkan pinggangku ke kanan kiri.
“Aku tau kamu pasti bisa mengerjakan
soal-soal ini, kamu belajar dengan cepat, buktinya satu bulan sudah banyak
perubahan” balas Pak Endro sembari tersenyum salut kepadaku.
“Makasih pak, ini semua juga berkat
bantuan bapak yang selalu membantu saya” ucapku. Aku segera meninggalkan
ruangan kelas yang lengang dan sunyi.
Aku
duduk bersila di lantai ruang tamu sembari mendengarkan materi yang Danar
ucapkan. Dengan Danar, semuanya terasa berbeda, bahkan satu mata pelajaran yang
aku benci sekalipun menjadi menyenangkan bersamanya bahkan terasa mudah.
“Lho kok diem? Ayo kerjain soalnya”
ujar Danar.
“Oh ya. Sampek lupa. Hehehe” jawabku
terkekeh sambil mengambil pensil dan hendak menulis.
“Jadi setelah lulus SMA ini mau
kemana Sa?” Tanya Danar.
“Seperti yang kamu katakan, aku
ingin lanjutin kuliah di Jakarta jurusan hubungan internasional”
“Ehm.. kamu benar-benar tertarik?”
“Iya.. kalau kamu Nar?”
“Rahasia dong. Mau tau aja sih!”
“Lho kok main rahasia sih!” aku menghentikan tanganku yang sedang menulis dan mendongak menghadap wajah Danar. Aku mengerucutkan bibirku tanda jengkel. Namun Danar berhasil menghiburku kembali dengan celotehan dan hiburan yang meluluhkan hati.
“Lho kok main rahasia sih!” aku menghentikan tanganku yang sedang menulis dan mendongak menghadap wajah Danar. Aku mengerucutkan bibirku tanda jengkel. Namun Danar berhasil menghiburku kembali dengan celotehan dan hiburan yang meluluhkan hati.
Detik menjelang Ujian semakin
terasa. Hari-hari indah berlalu begitu cepat. Kubaca dan kupahami setiap detail
tumpukan buku yang tercecer di meja belajarku. Semangatku semakin berapi-api
ketika Danar mulai masuk dan berperan penting dalam kehidupanku. Menit berganti
jam, jam berganti hari, hari berganti bulan dan seterusnya kulewati bersama
Danar dan ditemani puluhan buku. Ia yang selalu mengajariku apa arti hidup dan
memotivasiku untuk terus maju dan berkarya. Sisi itulah yang membuat celah
hatiku tersinari olehnya untuk terus bersungguh sungguh dalam menggapai apa
yang aku inginkan di kemudian hari. Senyuman dan canda gurau yang renyah
membuatku merasa amat nyaman berada di sisinya.
Kelulusan berlangsung begitu cepat
hingga peristiwa yang ku takutkan segera terjadi, aku harus berpisah dengan
Danar pemotivasiku.
“Hai
Risa” tiba-tiba Danar berlari ke arahku dan menyenggol lengan kiriku.
“Hai
Danar, aku dengar nilaimu hampir mendekati sempurna tuh! Mau lajutin kemana Nar?” tanyaku sembari
memasang wajah yang berbinar-binar.
“Aku
mau lanjutin kuliah disini aja kok, gak keluar kota” jawab Danar dengan
singkat.
“Lho..
kenapa gak ke Jakarta aja? Nilaimu kan cukup bagus Nar!” Nadaku meninggi.
“Nggak
kok Sa, aku lanjutin disini aja. Bagaimana denganmu? Kamu jadi kan lanjutin
kuliah di Jakarta? Nilaimu kan lebih bagus” Danar melontarkan senyumannya.
“Hm..
iya Nar” jawabku sambil menunduk lemah.
“Lho
kok sedih ya? Pasti kamu sedih gara-gara gak ketemu aku? Iya kan? Nanti kamu
kangen mikirin aku terus. Iya kan?” Danar terkekeh sambil menepuk pundakku
berulang kali.
“Ihh
apa’an sih? Nggak ya! Aku tuh cuma bingung nanti kalau udah gak ada kamu,gak
ada yang ngajarin aku” jawabku sekenanya.
“Hei..
kamu harus semangat Risa, meskipun ada aku dan gak ada aku kamu harus bisa
berjuang. Aku tau kamu pasti bisa mengatur hidupmu sendiri” ujar Danar.
Tiba-tiba
jemari tangannya menyentuh wajahku dengan lembut. Ku paksakan mataku menatap
mata Danar yang memancarkan kebahagiaan.
***
Berbagai
kejadian buruk dan baik silih berganti. Universitas di Jakarta memang yang
selalu jadi topik pembicaraanku dengan Danar, akhirnya aku berhasil dan membuat
senyum di bibir Danar terus berseri. Disisi lain, aku kehilangan motivatorku,
sosok yang selalu memberi semangat ketika ku patah dan terpuruk.
Kupandangi
kontak Danar di layar ponselku, ku hubungi beberapa kali namun tak ada jawaban
sama sekali. Mungkin ini keseribu kalinya aku menghubungi Danar namun tak ku
dengar kabar darinya. Tubuhku lemas serasa tak bertulang. Aku menyandarkan
punggung di tembok kamarku. Air mataku tak bisa kutahan, tiba-tiba mengucur
deras bagai arus niagara. Emosiku meluap-luap. Aku tak tau harus merasakan
rindu atau benci, keduanya kurasakan.
“Apakah aku akan kembali seperti
dulu tanpa kamu motivator impianku. Aku sekarang terpuruk tapi sudah tak ada
kamu yang menghiburku”
Sepintas
pikiran itu melayang-layang di fikiranku, membuatku semakin ragu untuk
melangkah.
“Berjuanglah Risa, perjuangkan apa
yang kau inginkan selama kau masih mampu melakukannya. Meski esok kita akan
terpisah. Aku akan selalu mendukungmu dari jauh”
Masih
ku ingat jelas setiap pesan yang ia katakan kepadaku. Aku mencoba menepis
pikiran buruk yang sempat terlintas di otakku. Aku akan berjuang menyelesaikan
pendidikanku dengan baik bahkan amat sangat baik. Aku berjanji pada diriku
sendiri untuk membuat senyum itu kembali hadir tepat di depan mataku.
Ketika
ku lelah dan mulai merindumu, akan ku ingat senyuman di wajahmu, senyuman itu
akan membayangiku dan menjadi semangat yang dulu pernah kau buat bersamaku.
***
Berulang-ulang aku merapikan jas
serba hitam yang kukenakan, memandangi tassel yang melekat di sisinya, serta
topi persegi hitam diatas kepala. Udara panas namun tetap sejuk diiringi oleh
angin yang bertiup sepoi-sepoi memang pas untuk upacara yang akan segera
dimulai. Awan yang tak menggumpal tebal namun tidak terlalu tipis pun terlihat
bersahabat dengan hari ini. Ratusan orang memakai toga menampakkan wajah
berseri-seri meskipun telah menunggu hampir setengah jam lamanya, lama itu tak terasa
akan rasa bahagianya mengakhiri masa pendidikan di universitas. Kutapakkan
kakiku menyusuri lapangan berumput yang luas dengan tujuan ke podium untuk
berpidato. Tak henti hentinya kepalaku menengok sisi kanan kiri namun tak
kulihat Danar yang berjanji akan menemuiku kemudian hari. Perasaan kecewa sempat
membanjiri fikiranku namun aku mencoba memfokuskan pidatoku.
“…….saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak
memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk
belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk
lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya…..”
Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Mataku tertuju
pada seseorang yang begitu kudambakan kehadirannya di tengah kerumunan
wisudawan. Nafasnya tersengal-sengal, hampir tak dapat berbicara, kaki yang
semula berdiri tegap kini telah goyah dan gemetar. Dengan nafas yang memburu
aku segera mengakhiri pidato dengan salam penutup. Aku melangkah melompati
podium dan melangkah gesit kearah Danar dan memeluknya dengan hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar