Sabtu, 07 Desember 2013

Setitik Senyum Harapan



Ia membalas pelukanku dengan diselubungi rasa rindu yang amat mendalam, rasa yang tertahan hampir lima tahun lamanya. Mulutku menggumamkan namanya dengan lirih. Ia menyisipkan jari-jari lembutnya di sela-sela rambutku yang tergerai. Kelopak mataku menutup dengan perlahan, mencoba meresapi dan  mengulas balik kenangan yang pernah ku lewati bersamanya.

***


            Aku membolak-balik halaman buku kusam tak beraturan. Otakku mencoba memfokuskan pada halaman buku yang kubaca tapi tak berhasil. Kelopak mataku terasa berat untuk membuka hingga pada akhirnya bunyi singkat tapi jelas menembus telingaku. Seketika kepalaku mendongak dan mataku membelalak lebar.
“Zuhrisa Navia, kerjakan soal nomor 5 di papan tulis sekarang!”
Ternyata suara yang nyaris memecahkan gendang telingaku itu bersumber dari Pak Endro yang tiba-tiba memanggil namaku sambil berkacak pinggang dan sepasang matanya menatapku tajam.
“Aduh soalnya susah pak!” celotehku sambil memandangi soal yang sama sekali tak kupahami.
“Sudahlah kerjakan dulu di depan! Makanya kalau saya menerangkan itu didengarkan baik-baik bukannya tidur! Kamu di sekolah bukan untuk tidur!” Nada Pak. Endro meninggi.
“Iya pak” aku berdiri dan melangkah dengan malas menuju papan tulis.
Ku lihat sekelebat lelaki jangkung, berkulit putih, dan rambut perpaduan antara lurus dan ikal yang berasal dari kelas sebelah. Ekor mataku membuntuti langkah cepat lelaki itu, ia menuju perpustakaan. Aku terhanyut memandanginya hingga suara bel panjang membuyarkan pandanganku namun melegakan hatiku. Kakiku beranjak keluar dari kelas dan menyusuri koridor sekolah. Sesekali kepalaku mendongak untuk memastikan lelaki itu tak lepas dari pandanganku, dan sampailah aku di perpustakaan. Sepasang mataku tak henti memandangi lelaki itu, ia adalah Danar, ia siswa kelas 12 IPS 4 yang bersebelahan kelas denganku. Danar sosok yang rajin bijaksana, dan baik tentunya seperti yang selalu ku amati sejak pertama kali aku memijakkan kaki di SMA ini. Aku selalu ingin mengenalnya, tapi otak dan hatiku selalu berlawanan arah, hatiku ingin mengenalnya tapi otakku selalu menolaknya karena ku pikir aku takkan pernah pantas mengenalnya. Tiba-tiba Danar membalas pandanganku, sepertinya ia tau bahwa aku memperhatikannya. Ku raih buku yang terjajar rapi di rak lalu melangkah menjauh mencari tempat duduk. Seketika rasa malu menjuluriku, aku menutup wajahku yang memerah. Kudengar dentum langkah menghampiriku.
            “Risa.. Zuhrisa” panggil seseorang dibelakangku dengan lirih. Aku menolehkan kepalaku dengan perlahan. Kulihat sosok yang ku puja-puja sedari dulu.
            “Danar? A..ada apa Nar?” jawabku tersengal-sengal sembari memperbaiki tatanan ramburku yang kurang teratur.
            “Lagi belajar matematika ya?” ucapnya sambil tersenyum manis kepadaku.
            “Ehm..Iya Nar, tapi kurang paham” balasku sambil memasang wajah memelas.
            “Sini aku bantuin Sa”
Seketika gugup menggerayangiku, aku menyeka air mukaku yang mengucur deras.
            “Bagaimana kau tau namaku?” tanyaku ragu-ragu.
            “Bagaimana aku tak tau namamu, kau kan anak kelas sebelah yang sering dihukum diluar kelas” Jawabnya sambil terkekeh.
Aku menundukkan kepalaku menyembunyikan rasa malu yang tak tertahankan.
            “Kok diem sih? Jadi aku ajarin gak matematikanya” tawarnya sekali lagi.
            “Iya!” jawabku dengan penuh antusias.
Dua jam berlalu, aku menikmati setiap detik yang terlewati dengannya. Meskipun secara profesi dia bukan seorang guru, bagiku ia sosok guru yang mengajariku untuk tetap berjuang, memotivasiku. Timbul secuil harapan untuk masa depan yang kuidam-idamkan.
            “Apa rencanamu untuk masa depan Sa?” ucap Danar sambil menatapku serius.
            “Entahlah Nar, aku bingung. Untuk bidang eksak bodoh banget aku. Satu satunya pelajaran yang nilainya lebih dari cukup cuma pelajaran bahasa. Aku gak tau harus masuk jurusan apa saat ke perguruan tinggi kelak” ocehku sambil mengerucutkan bibir.
            “Jangan patah semangat gitu dong! Diantara pelajaran bahasa nilaimu yang paling baik apa coba”
            “Hmm.. Bahasa Inggris, nilainya 90” jawabku dengan bangga.
            “Wah hebat! Kalau saranku sebaiknya kamu ambil jurusan yang berbau bahasa inggris. Seperti hubungan internasional dan sastra inggris contohnya” Danar mengacungkan jempolnya.
Otakku mulai menjelajah ke arah masa depan. Sekelibat bayangan keinginan mulai muncul dengan sendirinya. Reflek aku tersenyum sembari memejamkan mata beberapa detik.
            “Hei.. Hei.. Risa!” ucap Danar berulang kali sambil megoyak badanku dan membuyarkan hayalanku.
            “Ngapain kamu merem sambil senyum senyum? Bayangin apa?” Tanya Danar sambil mengerutkan dahinya.
            “Oh nggak papa kok Nar, yuk lanjutin  belajarnya” ucapku.
Pertama kali aku memulai percakapan dengan Danar, namun percakapan itu berlangsung hangat dan menyenangkan layaknya aku berbicara dengan orang yang telah mengenalku sepuluh tahun lamanya.

***
            “Yess aku bisa pak aku bisa” teriakku sambil menggoyangkan pinggangku ke kanan kiri.
            “Aku tau kamu pasti bisa mengerjakan soal-soal ini, kamu belajar dengan cepat, buktinya satu bulan sudah banyak perubahan” balas Pak Endro sembari tersenyum salut kepadaku.
            “Makasih pak, ini semua juga berkat bantuan bapak yang selalu membantu saya” ucapku. Aku segera meninggalkan ruangan kelas yang lengang dan sunyi.
           
Aku duduk bersila di lantai ruang tamu sembari mendengarkan materi yang Danar ucapkan. Dengan Danar, semuanya terasa berbeda, bahkan satu mata pelajaran yang aku benci sekalipun menjadi menyenangkan bersamanya bahkan terasa mudah.
            “Lho kok diem? Ayo kerjain soalnya” ujar Danar.
            “Oh ya. Sampek lupa. Hehehe” jawabku terkekeh sambil mengambil pensil dan hendak menulis.
            “Jadi setelah lulus SMA ini mau kemana Sa?” Tanya Danar.
            “Seperti yang kamu katakan, aku ingin lanjutin kuliah di Jakarta jurusan hubungan internasional”
            “Ehm.. kamu benar-benar tertarik?”
            “Iya.. kalau kamu Nar?”
            “Rahasia dong. Mau tau aja sih!”
            “Lho kok main rahasia sih!” aku menghentikan tanganku yang sedang menulis dan mendongak menghadap wajah Danar. Aku mengerucutkan bibirku tanda jengkel. Namun Danar berhasil menghiburku kembali dengan celotehan dan hiburan yang meluluhkan hati.

            Detik menjelang Ujian semakin terasa. Hari-hari indah berlalu begitu cepat. Kubaca dan kupahami setiap detail tumpukan buku yang tercecer di meja belajarku. Semangatku semakin berapi-api ketika Danar mulai masuk dan berperan penting dalam kehidupanku. Menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan dan seterusnya kulewati bersama Danar dan ditemani puluhan buku. Ia yang selalu mengajariku apa arti hidup dan memotivasiku untuk terus maju dan berkarya. Sisi itulah yang membuat celah hatiku tersinari olehnya untuk terus bersungguh sungguh dalam menggapai apa yang aku inginkan di kemudian hari. Senyuman dan canda gurau yang renyah membuatku merasa amat nyaman berada di sisinya.

            Kelulusan berlangsung begitu cepat hingga peristiwa yang ku takutkan segera terjadi, aku harus berpisah dengan Danar pemotivasiku.
“Hai Risa” tiba-tiba Danar berlari ke arahku dan menyenggol lengan kiriku.
“Hai Danar, aku dengar nilaimu hampir mendekati sempurna tuh!  Mau lajutin kemana Nar?” tanyaku sembari memasang wajah yang berbinar-binar.
“Aku mau lanjutin kuliah disini aja kok, gak keluar kota” jawab Danar dengan singkat.
“Lho.. kenapa gak ke Jakarta aja? Nilaimu kan cukup bagus Nar!” Nadaku meninggi.
“Nggak kok Sa, aku lanjutin disini aja. Bagaimana denganmu? Kamu jadi kan lanjutin kuliah di Jakarta? Nilaimu kan lebih bagus” Danar melontarkan senyumannya.
“Hm.. iya Nar” jawabku sambil menunduk lemah.
“Lho kok sedih ya? Pasti kamu sedih gara-gara gak ketemu aku? Iya kan? Nanti kamu kangen mikirin aku terus. Iya kan?” Danar terkekeh sambil menepuk pundakku berulang kali.
“Ihh apa’an sih? Nggak ya! Aku tuh cuma bingung nanti kalau udah gak ada kamu,gak ada yang ngajarin aku” jawabku sekenanya.
“Hei.. kamu harus semangat Risa, meskipun ada aku dan gak ada aku kamu harus bisa berjuang. Aku tau kamu pasti bisa mengatur hidupmu sendiri” ujar Danar.
Tiba-tiba jemari tangannya menyentuh wajahku dengan lembut. Ku paksakan mataku menatap mata Danar yang memancarkan kebahagiaan.

***

Berbagai kejadian buruk dan baik silih berganti. Universitas di Jakarta memang yang selalu jadi topik pembicaraanku dengan Danar, akhirnya aku berhasil dan membuat senyum di bibir Danar terus berseri. Disisi lain, aku kehilangan motivatorku, sosok yang selalu memberi semangat ketika ku patah dan terpuruk.
Kupandangi kontak Danar di layar ponselku, ku hubungi beberapa kali namun tak ada jawaban sama sekali. Mungkin ini keseribu kalinya aku menghubungi Danar namun tak ku dengar kabar darinya. Tubuhku lemas serasa tak bertulang. Aku menyandarkan punggung di tembok kamarku. Air mataku tak bisa kutahan, tiba-tiba mengucur deras bagai arus niagara. Emosiku meluap-luap. Aku tak tau harus merasakan rindu atau benci, keduanya kurasakan.
            “Apakah aku akan kembali seperti dulu tanpa kamu motivator impianku. Aku sekarang terpuruk tapi sudah tak ada kamu yang menghiburku”
Sepintas pikiran itu melayang-layang di fikiranku, membuatku semakin ragu untuk melangkah.
            “Berjuanglah Risa, perjuangkan apa yang kau inginkan selama kau masih mampu melakukannya. Meski esok kita akan terpisah. Aku akan selalu mendukungmu dari jauh”
Masih ku ingat jelas setiap pesan yang ia katakan kepadaku. Aku mencoba menepis pikiran buruk yang sempat terlintas di otakku. Aku akan berjuang menyelesaikan pendidikanku dengan baik bahkan amat sangat baik. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk membuat senyum itu kembali hadir tepat di depan mataku.
Ketika ku lelah dan mulai merindumu, akan ku ingat senyuman di wajahmu, senyuman itu akan membayangiku dan menjadi semangat yang dulu pernah kau buat bersamaku.

***
            Berulang-ulang aku merapikan jas serba hitam yang kukenakan, memandangi tassel yang melekat di sisinya, serta topi persegi hitam diatas kepala. Udara panas namun tetap sejuk diiringi oleh angin yang bertiup sepoi-sepoi memang pas untuk upacara yang akan segera dimulai. Awan yang tak menggumpal tebal namun tidak terlalu tipis pun terlihat bersahabat dengan hari ini. Ratusan orang memakai toga menampakkan wajah berseri-seri meskipun telah menunggu hampir setengah jam lamanya, lama itu tak terasa akan rasa bahagianya mengakhiri masa pendidikan di universitas. Kutapakkan kakiku menyusuri lapangan berumput yang luas dengan tujuan ke podium untuk berpidato. Tak henti hentinya kepalaku menengok sisi kanan kiri namun tak kulihat Danar yang berjanji akan menemuiku kemudian hari. Perasaan kecewa sempat membanjiri fikiranku namun aku mencoba memfokuskan pidatoku.
            “…….saya tidak tahu apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Saya tidak memiliki hobi, karena semua mata pelajaran hanyalah sebuah pekerjaan untuk belajar, dan saya lulus dengan nilai terbaik di setiap subjek hanya demi untuk lulus, bukan untuk belajar. Dan jujur saja, sekarang saya…..”
Tiba-tiba tenggorokanku tercekat. Mataku tertuju pada seseorang yang begitu kudambakan kehadirannya di tengah kerumunan wisudawan. Nafasnya tersengal-sengal, hampir tak dapat berbicara, kaki yang semula berdiri tegap kini telah goyah dan gemetar. Dengan nafas yang memburu aku segera mengakhiri pidato dengan salam penutup. Aku melangkah melompati podium dan melangkah gesit kearah Danar dan memeluknya dengan hangat.